Senin, 14 Juni 2010

APA YANG MENDORONG INFLASI PANGAN......???

Sejak 1970an, produksi pangan semakin mendunia dan terkonsentrasi. Segelintir negeri mendominasi perdagangan makanan pokok di dunia. 80% ekspor gandum berasal dari enam negeri exportir, demikian pula halnya dengan 85% beras. Tiga negeri memproduksi 70% ekspor jagung.

Nasib negeri-negeri termiskin dunia yang bergantung pada impor makanan, mau tak mau tergantung pada kebijakan serta keadaan ekonomi para negara eksportir. Ketika sistem perdagangan pangan global berhenti memasok, kaum miskinlah yang harus menanggung akibatnya.

Selama bertahun-tahun, perdagangan global makanan pokok sedang menuju sebuah krisis. Empat kecenderungan yang saling berhubungan telah memperlambat perkembangan produksi dan melambungkan harga-harga.

Berakhirnya Revolusi Hijau: Pada tahun 1960an dan 1970an, sebagai upaya menangkal keresahan petani di Asia Selatan dan Tenggara, AS mengucurkan dana dan dukungan teknologi untuk pengembangan pertanian di India dan negeri-negeri lainnya. “Revolusi hijau” – benih, pupuk, pestisida, teknik pertanian dan infrastruktur yang baru – membawa peningkatan produksi pangan secara spektakuler, terutama beras. Hasil panen per hektar terus meningkat hingga 1990an.

Saat ini para pemerintah tak lagi mau menolong rakyat miskin membudidayakan pangan untuk rakyat miskin lainnya. Mereka cenderung memalingkan muka karena menganggap “pasar” lah yang bertanggung jawab menyelesaikan semua permasalahan itu.

The Economist melaporkan bahwa “di negara-negara berkembang, alokasi pengeluaran untuk belanja di bidang pertanian berkurang hingga setengahnya antara 1980 dan 2004.“ [3] Subsidi dan dana riset dan pengembangan (R&D) telah mengering, dan pertumbuhan produksi pun mandek.

Akibatnya, dalam tujuh dari delapan tahun terakhir, dunia mengonsumsi jauh lebih banyak biji-bijian dibanding yang diproduksinya. Ini berarti pemerintah dan para pengecer tak lagi dapat menyisihkan sebagian beras untuk berjaga-jaga menghadapi kemungkinan gagal panen.

Perubahan Iklim: Para ilmuwan mengatakan bahwa perubahan iklim dapat memangkas produksi pangan di berbagai wilayah di dunia hingga 50% dalam 12 tahun ke depan. Tapi itu bukan sekedar masalah di masa depan:

*Sebelumnya, Australia adalah eksportir bijih-bijihan kedua terbesar di dunia, tapi kekeringan parah bertahun-tahun telah mengurangi hasil gandum
hingga 60% dan menghapuskan sepenuhnya produksi beras di benua kangguru.

*Pada bulan November lalu, salah satu bencana angin topan terhebat melanda Bangladesh. Dan menyapu habis jutaan ton beras, dan merusak panen
gandum. Mengakibatkan negara ini makin tergantung pada impor makanan. Banyak contoh lainnya. Jelaslah bahwa krisis iklim global telah hadir dan
berdampak pada pangan.

Bahan Bakar Agro (Agrofuels): Kini sudah menjadi kebijakan resmi di AS, Kanada, dan Eropa untuk mengalihkan pangan menjadi bahan bakar. Kendaraan di AS membakar jagung yang jumlahnya cukup untuk menutupi seluruh kebutuhan impor 82 negeri termiskin di dunia. [4]

Ethanol dan biodiesel disubsidi secara besar-besaran, yang artinya, tak terhindarkan lagi peralihan tanaman pangan seperti jagung (maize) keluar dari rantai makanan dan ke dalam tangki bensin, dan bahwa investasi pertanian baru di dunia sedang diarahkan menuju kelapa sawit, canola dan tumbuhan penghasil minyak lainnya. Permintaan terhadap bahan bakar agro secara langsung meningkatkan harga tanaman tersebut, dan secara tak langsung melonjakkan harga bijih-bijihan lainnya dengan mendorong petani beralih kepada budidaya bahan bakar agro.

Sebagaimana dihadapi oleh produsen babi Kanada, hal itu juga meningkatkan biaya produksi daging, karena jagung adalah bahan pakan ternak utama di Amerika Utara.

Harga Minyak: Harga pangan berhubungan dengan harga minyak karena pangan dapat dijadikan pengganti minyak. Tapi peningkatan harga minyak juga mempengaruhi biaya produksi pangan. Pupuk dan pestisida dibuat menggunakan petroleum dan gas alam. Bahan bakar bensin dan diesel digunakan dalam proses penanaman, panen, dan pengapalan.[5]

Diperkirakan 80% biaya budidaya jagung berasal dari biaya bahan bakar fosil – maka bukan kebetulan bahwa harga pangan naik ketika harga minyak naik.

* * *

Pada akhir 2007, penurunan investasi pertanian dunia ketiga, kenaikan harga minyak, dan perubahan iklim berarti bahwa pertumbuhan produksi melambat dan harga-harga melambung. Panen yang berhasil dan pertumbuhan ekspor yang kuat dapat saja meredam krisis – tapi bukan itu yang terjadi. Pemicunya adalah beras, makanan pokok tiga milyar rakyat.

Awal tahun ini, India mengumumkan akan membatalkan sebagian besar ekspor berasnya untuk membangun kembali cadangan berasnya. Beberapa minggu kemudian, Vietnam, yang tanaman padinya dihantam wabah serangga saat panen, mengumumkan penghentian ekspor selama empat bulan untuk menjamin persediaan cukup bagi pasar domestiknya.

India dan Vietnam adalah penyumbang 30 % ekspor beras dunia, pengumuman kebijakan ini mendorong pasar beras global ke pinggir jurang.

Pembeli beras segera membeli persediaan yang ada, menimbun beras apa pun dengan harapan harga akan meningkat di masa depan; mereka juga mengajukan penawaran berharga tinggi terhadap tanaman pangan di masa depan.

Harga-harga meroket. Pada pertengahan April, laporan berita menggambarkan “pembelian yang panik” terhadap kontrak penjualan beras masa depan [ijon, pen.] (futures) di Meja Dagang Chicago, dan terjadi kelangkaan beras bahkan di rak-rak supermarket di Kanada dan AS.

Mengapa terjadi pemberontakan?

Lonjakan harga pangan bukannya tak pernah terjadi sebelumnya. Bahkan jika kita membandingkan tingkat inflasi, harga pangan jauh lebih tinggi pada 1970-an. Namun mengapa lonjakan harga kali ini lebih banyak mengundang protes massa di seluruh dunia?

Jawabannya, sejak 1970an negeri-negeri terkaya di dunia dengan bantuan agen-agen internasional yang dikuasainya, telah secara sistematis menghancurkan kemampuan negeri-negeri termiskin dalam mencukupi kebutuhan pangan penduduknya dan dalam melindungi diri pada saat krisis seperti kini.

Haiti adalah satu contoh kuat yang memprihatinkan.

Beras telah dibudidayakan di Haiti selama berabad-abad, dan hingga sekitar dua puluh tahun lalu petani Haiti memproduksi sekitar 170.000 ton beras per tahun, cukup untuk memasok 95% konsumsi domestik. Petani beras tidak menerima subsidi pemerintah, tapi, layaknya sebuah negeri produsen beras saat itu, akses mereka terhadap pasar dilindungi oleh tarif impor.

Pada 1995, sebagai syarat mendapatkan pinjaman yang sangat dibutuhkan, Dana Moneter Internasional (IMF) mengharuskan Haiti memangkas tarif impor berasnya dari 35% menjadi 3%, terendah di Karibia. Akibatnya adalah masuknya beras AS secara massal. Beras impor ini dijual setengah harga dari beras yang dibudidayakan di Haiti. Ribuan petani beras kehilangan lahan dan penghidupannya dan kini tiga-perempat beras yang dimakan di Haiti berasal dari AS. [6]

Beras AS mengambil alih pasar Haiti bukan karena rasanya lebih enak, atau karena petani beras AS lebih efesien. Ia dimenangkan karena ekspor beras disubsidi secara besar-besaran oleh pemerintah AS. Pada 2003, petani beras AS menerima subsidi pemerintah sebesar $1,7 milyar, dengan rata-rata $232 per hektar beras yang dibudidayakan. [7] Dana tersebut, yang kebanyakan mengalir ke pemilik tanah yang sangat besar (very large landowners) dan korporasi agrobisnis, memungkinkan eksportir AS menjual beras seharga 30% hingga 50% di bawah biaya produksi yang sesungguhnya.

Pendeknya, Haiti dipaksa untuk meninggalkan proteksi pertanian domestik dari pemerintahnya – dan AS kemudian menggunakan pemerintahnya untuk memproteksi rencana-rencana mereka dalam mengambil alih pasar.

Terdapat banyak variasi dalam tema ini, dengan negeri kaya di utara memaksakan kebijakan “liberalisasi” kepada negeri-negeri selatan yang miskin dan dililit hutang dan kemudian memanfaatkan liberalisasi itu untuk menangkap pasar. Di 30 negeri terkaya di dunia, subsidi pemerintah mencapai 30% dari pemasukan usaha-usaha pertanian (farm), bertotalkan US$ 280 milyar per tahun, [8] suatu keuntungan yang tak tertandingi dalam pasar “bebas” di mana yang kaya menulis aturan mainnya.

Permainan dagang pangan dunia dipenuhi kecurangan, dan yang tersisa bagi yang miskin adalah semakin berkurangnya tanaman dan tiadanya perlindungan.

Sebagai tambahan, selama beberapa dekade, Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional telah menolak memberikan pinjaman kepada negeri-negeri miskin kecuali bila mereka menyetujui “Program Penyesuaian Struktural – Structural Adjustment Programs” (SAP) yang mengharuskan penerima pinjaman mendevaluasi mata uangnya, memotong pajak, memprivatisasi usaha kepentingan umum, dan mengurangi atau mengeliminasi program-program bantuan kepada petani.

Ini semua dilakukan dengan janji bahwa pasar akan memberikan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan – tapi sebaliknya, kemiskinan justru meningkat dan bantuan terhadap pertanian dihapuskan.

“Investasi terhadap paket-paket input dan ekstensi bantuan pertanian semakin berkurang dan akhirnya hilang di sebagian besar wilayah pedesaan di Afrika di bawah SAP. Upaya untuk meningkatkan produktivitas pemodal kecil telah ditinggalkan. Bukan saja pemerintah menguranginya, bantuan asing di bidang pertanian pun menyusut. Pendanaan Bank Dunia terhadap pertanian sendiri berkurang secara terhitung sebesar 32% dari pinjaman total pada 1976-8 hingga 11,7% pada 1997-9.”[9]

Dalam gelombang inflasi harga pangan sebelumnya, kaum miskin setidaknya sering kali memiliki akses terhadap pangan yang mereka budidayakan sendiri, atau pangan yang dibudidayakan secara lokal dan tersedia dalam harga yang ditetapkan secara lokal. Kini, di banyak negeri di Afrika, Asia, dan Amerika Latin, hal tersebut tidak lagi dimungkinkan. Pasar global kini menentukan harga lokal – dan sering kali satu-satunya pangan yang tersedia harus diimpor dari jauh.

* * *

Pangan bukan sekedar komoditas lainnya – ia adalah mutlak dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup. Hal minimal yang seharusnya dilakukan setiap pemerintahan atau sistem sosial yang ada adalah agar ia berupaya mencegah kelaparan – dan di atas segalanya agar ia tidak mengedepankan kebijakan yang merampas makanan dari rakyat lapar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar