Sabtu, 07 Januari 2012

AKASIA GROUP DALAM LENSA





































Ketidakpastian Sewa Lahan


Oleh: Prof.Dr.Ir.Moch.Maksum,MSc*

APRESIASI pantas diberikan atas kreativitas pemerintah dalam membangun Sistem Ketahanan Pangan (SKP). Mengingat persoalan mendatang semakin dihantui ketidakpastian dan kelangkaan pangan global akibat perubahan iklim, tidak adilnya perdagangan dunia, dan konflik peruntukan suberdaya bagi pangan, pakan, dan energi.
Segala ketidakpastian itu bermuara pada krisis pangan global dan nasional. Karenanya sungguh diperlukan kebijakan yang mampu menjinakkan ketidakpastian bagi terjaminnya SKP nasional. Bukan kebijakan negara yang justeru penuh ketidakpastian. Nalar tersebut menggiring bahwa apresiasi kinerja KIB-II tentu harus tetap kritis dan analitis.
Apakah kebijakan pemerintah akan menjamin kepastian atau justeru akan menambah ketidakpastian penguatan SKP ??? Peringatan ini dilontarkan karena tidak sulit menemukan upaya pembangunan yang realitasnya justeru kontraproduktif.

Pengembangan Food Estate dalam Merauke Integrated Food dan Energy Estate (MIFEE) adalah contoh pertama yang dipertanyakan. Kecuali pengembangan lahannya tidak terlalu jelas bagi pangan dalam negeri, lahan MIFEE ternyata didominasi sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Segala janji dan pemanjaan Foriegn Direct Investment (FDI)- pun tidak jelas kontribusinya bagi penguatan SKP nasional.

Kedua, ketidakpastian ditunjukan pula oleh terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 13/2011, tertanggal 24 Januari 2011, yang membebaskan Bea Masuk (BM) importasi 57 produk pangan. Ironisnya, PMK ini justeru diundangkan persis dua minggu berselang, setelah SBY menegaskan dalam rapat kerja pembanngunan, 10 Januari 2011, bahwa tidak ada alasan RI untuk tidak berkemandirian pangan. Teramat jelas bagi kacamata Rakyat Tani bahwa bebasnya BM kontra produktif bagi produksi pengan domestik.

Contoh ketiga, gagasan mutakhir peningkatan produksi pangan dalam mekanisme sewa lahan melalui konsorsium Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Belum sampai implementasinya, gagasan ini sudah kontroversial. Komunitas Rakyat Tani terutama di Jawa, tidak satu suara menyikapi sewa lahan ini. Prinsip operasionalnya memang sederhana. Melalui operasi konsorsium BUMN lahan sewa akan dikelola lebih efisien dan produktif. Itulah optimismenya.

Tentu menarik untuk dipikirkan ulang ketika gagasan persewaan memicu kontroversi, yang pasti akan memuncak manakala setiap jengkal lahan dinilai sekedar sebagai aset ekonomi. Karena hakikatnya, lahan pertanian memiliki beragam makna; mulai dari alat produksi teramat ekonomis sampai keaset kultural ketika mensiratkan simbol politik- kultural bagi pemilik dan pekerja yang terkait dalam keberadaannya.

Sungguh tinggi penilaian komunitas tradisional atas sejengkal lahan. Dalam rangka nilai inilah, pola pikir pengusahaan lahan bagi produktifitas pangan melalui persewaan perlu dipikirkan pemodelannya untuk tidak menjerumuskan BUMN dan konsorsium terkait, terjebak pada persoalan sosial yang lebih pelik dalam operasi.

Watak multidimensi lahan seharusnya menjadi pertimbangan utama. Watak ekonomi lahan merupakan watak yang teramat sederhana. Hal ini mudah sekali diselesaikan dengan kompensasi, sewa, ganti rugi, dan sejenisnya. Tetapi bagaimana dengan nasib pemilik dan buruhnya, ketika ekonomi yang sangat efisien berjalan? Mereka, pemilik dan buruhnya hanya menjadi penonton kemewahan produksi? Ketimpangan kelas akhirnya memicu gesekan sosial ekonomi menegangkan.

Implikasi ssosial- politik dari sejengkal lahan ini sangat luar biasa ketika exit strategy tidak serta merta diciptakan. Bagi kultur Jawa, kiasan sedumuk bathuk senyari bumi mengindikasikan makna politik- kultural teramat dalam. Bahwa mekanisme sewa bisa dibingkai dalam kesepakatan legal, itu mudah sekali diciptakan dan dipahami. Akan tetapi, ketika employment dan cultural impact-nya tidak masak diperhitungkan, maka gelombang besar pemilik lahan dan buruhnya adalah gelombang masalah politik.

Persoalan mendasar inefisiensi memang terbatasnya luasan lahan petani. Tetapi harus dipahami, ketidakmampuan bangsa menyediakan alternative employment adalah akarnya. Akibatnya? Sejengkal lahan yang jelas tidak efisien diusahakan tetap saja dioperasikan, karena tidak tersedia pekerjaan lain! Karenanya bisa disimpulkan, keterbatasan lapangan kerja alternatif inilah hambatan utama bagi penguatan SKP nasional.
Ketika nalar ini diadopsi sebagai landasan pemikiran, maka mudah terbayangkan betapa mengerikan persoalan sosial- politik yang bakal ditimbulkan dalam urusan sewa lahan. Cukupkah kita menghibur diri dengan sistem tenaga-kerja dan pengupahan? Sungguh kita telah tersesat dengan mereduksi persoalan politik-kultural ini menjadi sekedar urusan finansial.

Penulis adalah: Guru Besar TIP FTP UGM, Ketua PBNU)*