Minggu, 06 Maret 2011

SEJARAH GERAKAN TANI INDONESIA

Kaum tani di Indonesia muncul pertama kali di masa masyarakat feodal, di mana pada waktu itu kaum tani berposisi sebagai tani hamba dari tuan tanah feodal yang menguasai tanah. Tani hamba bekerja menggarap lahan atau tanah milik tuan tanah feodal yang pada waktu itu menyebut dirinya sebagai raja. Seluruh hasil tanah yang digarap oleh tani hamba diserahkan kepada raja dan tani hamba mendapat bagian sesuai dengan kebijakan dari raja. Pada masa itu, yang banyak berlaku adalahaturan kewajiban tani hamba untuk menyerahkan upeti berupa hasil produksinya sebagian besar kepada raja sebagai bukti pengakuan kepemilikan tanah oleh raja sekaligus juga kepatuhan tani hamba terhadap sang raja. Selain keharusan untuk menyerahkan upeti, tani hamba juga harus siap swaktu-waktu untuk menyerahkan tenaga kerjanya tanpa dibayar ketika raja membutuhkan dan memiliki kehendak untuk mewujudkan keinginannya seperti membangun istana, jalan, bahkan berperang melawan kerajaan yang lain. Belum lagi pajak yang juga dikenakan oleh raja terhadap kaum tani di luar upeti. Dan apabila kaum tani tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya, maka dipastikan mereka akan mendapatkan hukuman. Dapat dibayangkan bagaimana penderitaan tani hamba pada waktu itu dan kondisi hidupnya yang melarat dan miskin.

Kepatuhan dan ketertundukkan kaum tani terhadap raja semakin diperteguh oleh kesadaran feodal di kalangan kaum tani yang menganggap bahwa raja adalah 'manusia pilihan' dan utusan Tuhan. Sehingga harus dihormati dan menjadi tempat untuk mengabdi. Kesadaran ini semakin dikuatkan oleh ajaran agama yang memperkuat kedudukan raja dalam masyarakat. Dan kemudian kaum tanipun terbenam dalam ketidakberdayaan dan penerimaan bahwa seluruh penderitaan yang dialaminya adalah takdir yang harus ditanggung dengan penuh kesabaran dan bahkan 'rasa syukur'. Namun bukan berarti bahwa kaum tani pada waktu itu tidak melakukan perlawanan terhadap sistem ekonomi politik yang menindas dirinya. Berbagai bentuk perlawanan muncul seperti misalnya penolakan memberikan upeti, penolakan membayar pajak, bahkan juga melakukan perlawanan secara berkelompok sekalipun mudah dipatahkan oleh raja dan tentaranya.

Pada perkembangannya, ketika bangsa asing masuk ke Indonesia sebagai tanda dimulainya masa penjajahan maka penderitaan petani bukannya berkurang tetapi justru bertambah hebat. Pada masa VOC, kewajiban para penguasa lokal untuk menyerahkan hasil pertanian menjadikan tekanan terhadap petani bertambah kuat. Demikian juga di masa pendudukan Inggris, telah diperkenalkan pajak tanah berupa uang, menggantikan penyerahan wajib (upeti). Kenyataannya, pajak tanah yang dikenakan oleh pemerintah penjajahan sangat tinggi dan banyak kaum tani yang tidak mampu untuk membayar pajak. Untuk membayar pajak tersebut, tidak jarang banyak kaum tani yang harus menjual tanahnya dan kemudian terpaksa menjadi buruh di perkebunan.

Beban penderitaan yang bertumpuk-tumpuk itulah yang kemudian menjadi lahan yang subur bagi munculnya ketidakpuasan, kemarahan dan kebencian kaum tani terhadap pemerintah kolonial Belanda dan kaki tangan lokalnya. Perang Jawa atau banyak dikenal sebagai perang Diponegoro menjadi salah satu bentuk perlawanan kaum tani yang pada saat itu mengalami penderitaan karena dikenai berbagai macam pajak baik oleh Belanda maupun kerajaan Mataram. Itulah yang menjadi sebab mendasar kenapa massa rakyat bangkit melawan kekejaman penjajah dan penguasa kerajaan Mataram. Bukan pertama-tama karena kepahlawanan Pangeran Diponegoro, karena ajakan Diponegoro untuk melawan Belanda tidak akan disambut luas jika massa rakyat memang tidak memendam kemarahan besar terhadap Belanda. Di sinilah nampak dengan jelas bagaimana peranan massa rakyat yang menentukan Perang Jawa dapat terjadi, meluas di berbagai wilayah di Jawa, dan bertahan selama kurun waktu yang lama (5 tahun).

Perang Jawa telah menimbulkan kerugian besar di pihak pemerintah Belanda baik berupa kerugian finasial (keuangan) maupun kehilangan pasukan dalam jumlah yang sangat besar. Perang Jawa juga telah menunjukkan kegigihan massa rakyat khususnya kaum tani dalam melakukan perlawanan bersenjata terhadap penguasa Belanda dan kaki tangan pribuminya. Namun pada akhirnya perang Jawa mengalami kegagalan dan dapat dihancurkan oleh Belanda karena dua sebab utama yaitu pertama, masih bersifat lokal atau kedaerahan karena hanya mencakupi wilayah DIY dan sebagian Jawa Tengah. Hal ini memudahkan Belanda untuk mengkonsentrasikan kekuatan militernya dari banyak tempat baik di Jawa maupun luar Jawa di Jateng dan DIY. Kedua, perlawanan massa rakyat yang sebagian merupakan kaum tani masih dipimpin oleh penguasa feodal yaitu Diponegoro yang memiliki watak bimbang dan tidak teguh dalam memegang garis perjuangan terhadap penjajahan. Hal ini yang menyebabkan Diponegoro gampang dibujuk oleh Belanda dan melalui sebuah siasat perundingan, Belanda dapat menangkap dan mengasingkan Diponegoro. Karena kepemimpinan perjuangan terpusat di tangan Diponegoro, maka paska ia ditangkap tidak ada kepemimpinan yang meneruskan perlawanan massa rakyat. Dan kemudian perlawanan menjadi surut dan dapat ditumpas dengan lebih mudah oleh Belanda.

Karena kerugian yang sangat besar dari perang Jawa, maka kemudian Belanda menerapkan pelaksanaan Sistem Tanam Paksa (STP) baik di Jawa maupun di luar Jawa. Tujuannya jelas yaitu untuk menutup kerugian finansial yangdialami akibat perang Jawa selam 5 tahun. Sistem Tanam Paksa mengharuskan negeri jajahan Indonesia menyediakan tanah dalam jumlah yang sangat besar untuk ditanami tanaman komoditi ekspor yang akan diangkut ke negeri Belanda untuk kemudian dijual ke pasar dunia. Untuk kepentingan tersebut, pemerintah Belanda menerapkan aturan bahwa kaum tani di Indonesia harus menyerahkan 1/5 tanah garapannya untuk ditanami tanaman ekspor seperti teh, kopi, vanili, tembakau dan lain-lain. Pada kenyataannya, pelaksanaan STP lebih parah daripada aturan formalnya, karena prkteknya kaum tani harus menyerahkan seluruh tanahnya untuk tanam paksa. Bahkan juga seluruh tenaga kerjanya harus diserahkan untuk mengurus tanaman ekspor yang mereka tidak pernah merasakan hasilnya. Apalagi pemerintah Belanda menggunakan penguasa feodal lokal seperti Bupati, Residen dan Kepala Desa untuk memaksa kaum tani menyerahkan tanah dan tenaga kerjanya.

Pelaksanaan STP di satu sisi memberikan keuntungan yang luar biasa bagi pemerintah Belanda. Tercatat sampai akhir tahun 1870, keuntungan yang diperoleh pemerintah Belanda mencapai 725 juta gulden, yang kemudian dapat untuk membayar hutang-hutang mereka dan menjadi bagian terbesar yang menopang anggaran belanja negeri Belanda. Tetapi di sisi lain, menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan yang amat sangat di kalangan kaum tani. Bencana kelaparan dan penyakit menyerang massa rakyat khususnya kaum tani di Jawa. Krisis ekonomi melanda pulau Jawa secara luas pada akhir tahun 1880. Dan data sejarah mencatat, terjadi tragedi memilukan karena tingginya tingkat kematian akibat bencana kelaparan dan penyakit sehingga setengah dari jumlah penduduk Jawa berkurang. Selama kurun waktu tersebut, kaum tani juga tidak berhenti melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Sejarawan Indonesia Onghokham mengemukakan bahwa semenjak perang Diponegoro selesai pada tahun 1830 sampai permulaan pergerakan nasional pada tahun 1908, diperkirakan terdapat lebih dari 100 pemberontakkan atau keresahan petani.
Sebagai negara agraris, bagian terbesar dari penduduk Indonesia bermata pencaharian pokok sebagai petani. Hal ini berarti sumber ekonomi dan sosial penduduk sangat tergantung pada tata produksi dan hasil-hasil pertanian. Dengan demikian, persoalan pertanian sesungguhnya merupakan masalah pokok bagi masyarakat Indonesia. Masalah pertanian merupakan indikator penting untuk mengukur tingkat kesejahteraan kehidupan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Dalam kenyataannya paradigma pembangunan yang dianut oleh Rezim Orde Baru adalah lebih ditekankan pada pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh investasi modal asing secara besar-besaran, sehingga kegiatan ekonomi yang menjadi prioritas adalah kegiatan industrialisasi menengah dan besar yang cenderung mampu mendatangkan devisa (baca dollar). Walaupun industri yang dikembangkan tidak berbasis atau bertumpu pada sektor pertanian, dimana sebagian besar rakyat berada pada sektor ini. Hasil akhirnya sudah kita ketahui secara bersama bahwa kemudian akses dan aset secara nasional hanya dimiliki oleh segelintir orang, yaitu para penguasa dan pengusaha.

Konsekuensi dari paradigma pembangunan yang dianut adalah kebutuhan akan lahan atau tanah yang cukup besar sebagai tempat untuk melakukan investasi modal guna mengembangkan kegiatan usaha yang dilakukan. Berkaitan dengan itu maka negara (penguasa) dalam hal ini memberikan jaminan untuk memfasilitasi kebutuhan akan lahan tersebut, yang pada akhirnya memunculkan konflik pertanahan antara rakyat berhadap-hadapan dengan negara yang ditopang oleh perangkatnya dalam hal ini birokrasi dan tentara.


2. Basis Konflik

Berbagai kasus penggusuran yang terjadi hampir di seluruh penjuru tanah air pada dekade 1980-an, dapat dipastikan memunculkan dan menyebabkan terjadinya konflik di masyarakat. Sebuah konflik “klasik” yang berawal dari masalah sengketa tanah, dan menempatkan petani pada posisi yang berhadap-hadapan dengan negara. Menurut Dianto Bachriadi konflik pertanahan dalam negara Orde Baru banyak terjadi antara rakyat atau petani dengan negara, atau antara petani dengan pemilik modal, atau antara petani dengan pemilik modal yang beraliansi dengan negara.

Dalam penelitian ini tercatat beberapa corak penggusuran yang mengatasnamakan pembangunan dan kesejahteraan, yaitu :

1. Penggusuran tanah untuk pembangunan waduk, instalasi militer, dan peruntukan lainnya yang dikategorikan “kepentingan umum”.

2. Penggusuran tanah untuk modernisasi dunia pertanian dan usaha, seperti pembukaan usaha perkebunan yang dilakukan oleh negara (BUMN/D), swasta, dan militer, serta pabrik;

3. Penggusuran tanah untuk tempat rekreasi elitis, seperti lapangan golf, industri pariwisata, penataan wilayah dan kawasan pemukiman, dan sebagainya;

4. Penggusuran tanah dengan mengatasnamakan Land Reform, dalam kenyataannya tanah rakyat atau petani justru dijadikan objek “Land Reform” dan dibagi-bagikan kepada orang-orang yang seharusnya tidak berhak atas tanah itu, seperti aparat BPN, aparat desa, dan sebagainya.

Apapun penggunaan dan peruntukannya, penggusuran tanah petani yang terekam dalam penelitian ini menggunakan pola-pola yang sama atau seragam. Paling tidak terdapat enam macam strategi dan pendekatan untuk menggusur rakyat2;

1. Pendekatan legal formal (formal administratif): Tanah-tanah yang dikuasai petani umumnya tidak memiliki kelengkapan surat menyurat sebagai bukti kepemilikan, sehingga tanah-tanah tersebut gampang dianggap sebagai tanah negara.

2. Pendekatan kepada tokoh masyarakat: Upaya penggusuran tanah-tanah petani dilakukan dengan cara pendekatan secara “khusus” kepada tokoh-tokoh masyarakat, seperti ketua adat, tokoh agama, tokoh-tokoh formal desa, dan sebagainya, tanpa sepengetahuan rakyat setempat. Biasanya, apabila tokoh-tokoh tersebut sudah ditaklukan, proses penggusuran terhadap rakyat akan sangat mudah. Dalam studi kasus ini tercatat bahwa pendekatan pada tokoh-tokoh ini agaknya berjalan efektif.

3. Pendekatan politik pecah-belah: Politik pecah-belah bukan hanya monopoli penguasa kolonialis yang sangat terkenal dengan politik devide et impera-nya, tetapi juga dipergunakan oleh penguasa Orde Baru untuk menggusur tanah-tanah milik petani. Masyarakat atau petani pemilik tanah diadu-domba dengan sesamanya, misalnya dengan mengadakan pendekatan-pendekatan tertentu kepada kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda kepentingan.

4. Pendekatan manipulasi, pemalsuan dan diskriminasi: Proses manipulatif yang sering dipergunakan untuk menggusur tanah-tanah rakyat atau petani, misalnya dengan menerbitkan akta/sertifikat atas nama atau suku tertentu yang menyetujui adanya penggusuran.

5. Pendekatan isolasi wilayah dan akses: Secara geografis biasanya tanah-tanah petani yang akan digusur diisolasi, misalnya, dengan cara menutup jalan menuju lokasi. Sehingga secara geografis wilayah tersebut sulit ditembus, yang mengakibatkan akses masyarakat atau petani ke dunia luar terputus.

6. Pendekatan dengan menggunakan cap buruk atau stigma-stigma: Cara ini dialamatkan kepada masyarakat yang tanahnya akan digusur. Misalnya, masyarakat yang menolak penggusuran dianggap pengikut aliran sesat, pengacau keamanan, anti pembangunan. Orang yang anti pembangunan dianggap anti Pancasila, dan itu berarti orang tersebut dianggap PKI. Cap buruk lainnya misalnya, penyerobot tanah negara, penghuni liar, dan sebagainya. Rakyat atau petani yang diberi stigma-stigma seperti itu akan merasa ketakutan, dan dengan begitu penggusuran akan lebih mudah dilakukan.

Dalam perkembangannya, semua strategi dan pendekatan di atas yang dipergunakan dalam setiap penggusuran tanah petani, biasanya dipakai secara berkombinasi, tergantung dengan tingkat perlawanan yang dilakukan petani dalam mempertahankan hak-haknya. Intimidasi, teror, pemancangan patok, penangkapan, dan berbagai tindak kekerasan fisik dilakukan secara simultan untuk mendesakkan orde penggusuran. Data yang terekam dalam penelitian in bahwa semua tindakan tersebut dominan dilakukan oleh tentara dan aparat negara, mulai dari pejabat tinggi sampai pejabat terendah di desa-desa setempat, yang biasanya juga didukung oleh tokoh-tokoh dan elit-elit masyarakat setempat.



3. Bentuk-bentuk Perlawanan

Dalam banyak kasus penggusuran di Indonesia pada dekade 1980-an, terutama yang terekam dalam penelitian ini, rakyat atau petani selalu ditempatkan pada posisi tertindas dan dikalahkan. Setiap langkah perlawanan petani sebagian besar dapat dipatahkan. Manipulasi, intimidasi, represi, pembantaian, penindasan dan demoralisasi dari militer dan aparat negara lainnya, disokong oleh tokoh-tokoh atau elit-elit lokal dan preman. Kekalahan dalam konteks itu menjadi sesuatu yang nyata, dan itu berarti semakin memojokan posisi petani.

Meskipun begitu bukan berarti menyurutkan aksi-aksi perlawanan petani. Penolakan secara langsung dan terbuka selalu dilakukan petani. Sikap resistensi atau perlawanan terhadap negara/militer/pemodal besar secara simultan selalu muncul, menolak penggusuran. Sebagaimana yang terekam dalam penelitian ini, ada beberapa bentuk perlawanan petani yang dapat dikategorikan dalam beberapa kelompok, yang sekaligus merupakan tahapan perlawanan yang biasa dilakukan petani.

Aksi Protes

Aksi-aksi protes merupakan satu pilihan yang banyak dilakukan petani terutama pada awal terjadinya konflik. Perlawanan yang dilakukan, misalnya dengan mengirim surat-surat protes ke instansi-instansi pemerintah yang terkait atau badan-badan tertentu yang terlibat langsung dan dianggap lawan oleh petani. Perlawanan model ini biasanya dilakukan oleh orang per orang secara individual atau oleh beberapa orang yang tergabung dalam kelompok-kelompok kecil.

Perlawanan petani lainnya yang dapat dikategorikan dalam bentuk aksi protes ini adalah mengirim delegasi, yang terdiri dari beberapa orang yang ditunjuk petani. Aksi-aksi delegasi yang diutus petani bertujuan untuk menemui pejabat-pejabat negara yang terkait atau lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses penggusuran tanah petani.

Perlawanan ke Pengadilan

Bentuk perlawanan dengan membawa kasus sengketa tanah ke pengadilan merupakan satu pilihan yang juga dilakukan petani. Dalam hal ini petani memberi kuasa hukum terutama kepada lembaga-lembaga atau LSM yang khusus bergerak dalam bidang bantuan hukum.

Aksi Tandingan

Aksi tandingan merupakan salah satu bentuk perlawanan petani yang dilakukan secara frontal, dengan melakukan aksi-aksi yang berlawanan dengan tindakan-tindakan pihak penggusur. Sebagai contoh, jika pihak penggusur memasang patok, maka petani akan mencabut patok-patok tersebut, dan kemudian memasang patok-patok baru. Jika tanah tersebut sudah ditanami tanaman, maka tanaman tersebut akan dicabut kemudian petani menanami tanaman baru yang mereka sukai, dan berbagai tindakan tandingan lainnya.

Dalam data yang terekam dalam penelitian ini, biasanya pihak penggusur akan bereaksi balik menggunakan kekerasan, baik dengan tangan-tangan militer maupun aparat negara lainnya atau dengan “trend mutakhir” menggunakan tangan-tangan preman setempat atau preman-preman luar yang didatangkan khusus untuk itu.

Aksi Penghadangan

Aksi penghadangan merupakan satu bentuk perlawanan petani yang mulai sering dilakukan. Jika sebelumnya penangkapan, penghadangan, banyak dilakukan aparat negara terhadap petani yang menolak penggusuran, dalam perkembangan pada dekade 1980-an ini penghadangan justru dilakukan petani terhadap aparat atau pihak lain yang mau menggusur tanah petani. Sebagai contoh, seperti yang dilakukan petani Desa Brundung, Pematang Pasir dan Sidoasih, Lampung Selatan. Penduduk pun melakukan perlawanan, menolak proyek yang mengatasnamakan land reform yang tidak jelas itu.

Aksi Demonstrasi

Bentuk perlawanan dengan melakukan demonstrasi adalah “khas” perlawanan petani dekade 1980-an. Aksi-aksi demonstrasi biasanya dilakukan di lokasi-lokasi di mana konflik pertanahan itu terjadi, atau mendatangi instansi-instansi pemerintah yang terkait. Instansi-instansi yang seringkali didatangi petani adalah kantor gubuernur, bupati/walikota, BPN, DPR, DPRD, badan-badan atau lembaga-lembaga yang berhubungan langsung dengan proses penggusuran tanah petani, seperti markas tentara, kantor-kantor perkebunan, dan sebagainya.

Aksi Pendudukan

Perlawanan dengan aksi pendudukan dapat dikelompokkan dalam dua bentuk, yaitu : pertama, diawali dengan aksi demonstrasi ke instansi-instansi pemerintah atau badan lainnya yang dianggap bertanggung jawab terhadap penggusuran tanah petani, kemudian berlanjut dengan aksi pendudukan. Biasanya dalam aksi seperti ini, mereka tidak bersedia menghentikan aksi pendudukannya jika tuntutan yang mereka ajukan tidak atau belum dianggap tuntas.

Kedua, aksi perebutan dan pendudukan kembali lahan-lahan mereka yang sempat digusur (reclaim action), atau lahan lainnya yang dianggap sebagai simbol kekuasaan negara. Aksi-aksi seperti ini agaknya menjadi “trend mutakhir” bentuk perlawanan petani. Di beberapa tempat yang terekam dalam penelitian ini, aksi-aksi pendudukan dan pengambil alihan kembali lahan-lahan mereka yang dulunya digusur menjadi pilihan yang cukup strategis, sangat efektif untuk mengobarkan semangat perlawanan, dan untuk beberapa kasus menampakkan keberhasilannya.



4. Karakteristik Gerakan Petani 1980-an

Pada awal tahun 1980-an, gerakan-gerakan perlawanan petani memperlihatkan karateristik yang sama. Gerakan perlawanan yang muncul, agaknya, tidak beranjak jauh dari karakteristik gerakan petani tradisional Jawa dan daerah-daerah kerajaan lainnya. Gerakan-gerakan perlawanan tersebut masih bersifat tradisional, lokal atau regional, berjangka waktu pendek, dan masih menggantungkan diri pada tokoh-tokoh lokal yang menjadi figur sentral gerakan.

Pada masa ini, gerakan-gerakan petani masih berupa aksi-aksi protes damai, tanpa kekerasan, yang dilakukan secara sporadis, belum adannya pengorganisasian massa dalam jumlah besar, dan masih mengandalkan tokoh-tokoh masyarakat setempat atau elit-elit lokal yang dijadikan pemimpin dalam setiap aksi. Isu-isu yang menyatukan gerakan perlawanan mereka adalah persoalan ekonomi, yang didasarkan atas kepentingan tanah mereka yang sama-sama hilang karena digusur.

Corak gerakan perlawanan petani ini mengalami perubahan secara besar-besaran. Perubahan itu sangat terasa, terutama sejak pertengahan tahun 1980-an yang berlanjut pada tahun 1990-an. Dalam periode ini gerakan perlawanan petani tidak hanya bercorak ekonomi, tetapi juga bercorak budaya yang kental terutama di daerah-daerah yang sistem masyarakat adatnya masih hidup, dan isu-isu yang dikembangkan bermuatan politik. Jadi isu-isu yang mempersatukan gerakan perlawanan petani ini, di samping persoalan ekonomi, adalah persoalan budaya dan politik. Negara/tentara/pemodal dalam konstelasi itu, ditempatkan sebagai musuh bersama petani, karena dalam pandangan petani institusi-institusi inilah yang menyebabkan kehidupan petani terus memburuk.

Dalam kaitan itu, sejak pertengahan tahun 1980-an, isu-isu politik (penindasan) agaknya menjadi isu sentral perjuangan, dan gerakan perlawanan petani mulai marak, yang bagaimana pun tidak bisa dilepaskan dari peran aktivis mahasiswa dan LSM yang mendampingi petani dalam menghadapi berbagai kasus penggusuran. Proses pendampingan ini agaknya telah “membuka mata” petani, bahwa musuh bersama mereka adalah negara/militer/pemodal besar.

Meskipun isu-isu atau masalah yang dihadapi petani relatif sama di hampir seluruh wilayah Indonesia, jaringan kerja dan jaringan antar gerakan petani belum terbangun pada tataran nasional. Sehingga isu-isu gerakan yang terjadi di hampir setiap wilayah terbangun sepotong-potong, parsial, tidak “nyambung” antara satu komunitas petani dengan komunitas petani lainnya, apalagi dengan komunitas lain di luar sektor pertanian. Walaupun isu-isu yang dibangun untuk mengangkat persoalan petani selalu aktual dan strategis, tetapi dalam perkembangannya isu-isu tersebut dengan mudah tenggelam bersama arus besar “orde pembangunan”.



5. Peran Tokoh Dalam Gerakan Petani

Dalam sejarah gerakan perlawanan petani terutama gerakan petani tradisional, tidak bisa disangkal bahwa tokoh memegang peranan penting. Protes dan perlawanan, bahkan pemberontakan petani dalam lintas sejarah itu didominasi oleh tokoh, sebagian besar dipimpin oleh elit-elit agama3 atau elit-elit lokal/tokoh-tokoh masyarakat setempat lainnya, tidak dipimpin oleh petani sendiri. Jadi, terutama pada zaman kolonial gerakan perlawanan petani sangat mengandalkan peran seorang pemimpin, yang umumnya berasal dari kalangan elit atau tokoh masyarakat. Elit atau tokoh inilah yang menggerakan dan memimpin perlawanan yang dilakukan petani.

Begitu pula dengan gerakan perlawanan petani pada dekade 1980-an, kepemimpinan seorang tokoh atau elit-elit lokal dalam setiap gerakan memegang peranan penting. Namun, cara pandang terhadap tokoh atau elit lokal, agaknya, telah mengalami perubahan besar-besaran. Pada zaman kolonial misalnya, elit-elit agama, ketua-ketua adat, dan orang-oran yang dituakan, selalu didengar perkataannya dan diikuti perbuatannya. Bersama-sama petani, tokoh-tokoh yang memimpin gerakan berani berkorban untuk membela kepentingan hak-hak mereka, bahkan bersama-sama petani mereka memimpin perjuangan menuju Indonesia merdeka. Ini, sekali lagi, membuktikan besarnya peran tokoh atau elit dalam gerakan petani.

Akan tetapi, yang terjadi kemudian pada dekade 1980-an adalah cara pandang petani terhadap tokoh atau elit lokal tidak

selalu berkesan baik. Tokoh atau elit-elit agama, ketua adat, atau orang yang dituakan, tidak selalu didengar perkataannya dan diikuti perbuatannya. Ini dapat dipahami karena, dalam banyak kasus penggusuran tanah petani, peran tokoh-tokoh atau elit-elit tersebut tidaklah dapat dikatakan kecil dalam membantu dan mempermudah proses penggusuran. Tokoh atau elit-elit lokal tidak memimpin gerakan perlawanan bersama-sama petani, tetapi mereka justru berkonspirasi dengan negara/militer/pemodal untuk menggusur tanah-tanah petani. Tokoh-tokoh agama, elit-elit lokal, ketua-ketua adat dan sebagainya, dalam konteks ini telah dikooptasi oleh negara, berpihak kepada yang kuat, yang menyebabkan dalam pandangan petani mereka tidak lebih sebagai kepanjangan tangan negara, alat untuk menggusur tanah-tanah petani.

Kenyataan inilah, barangkali, yang menyebabkan tokoh-tokoh gerakan perlawanan petani pada dekade 1980-an justru banyak yang muncul dari tokoh-tokoh muda setempat, aktivis mahasiswa, dan aktivis LSM. Tokoh-tokoh tradisional seperti elit agama, ketua adat, dan sebagainya, ditinggalkan petani karena pengkhianatannya, dan petani berpaling kepada tokoh-tokoh muda idealis dan energik. Ini merupakan satu bentuk pembangkangan petani terhadap tokoh atau elit setempat, sekaligus menegaskan ketidakpercayaan petani pada tokoh atau elit.

Keterlibatan kelompok-kelompok mahasiswa dan aktivis LSM dalam gerakan perlawanan petani relatif menonjol pada dekade 1980-an, terutama di daerah-daerah yang mengalami kasus penggusuran. Aktivis LSM dan mahasiswa melakukan pendampingan dan pembelaan di pengadilan, aksi-aksi demonstrasi, pendidikan, dan fasilitator dalam berbagai kegiatan yang berhubungan dengan gerakan perlawanan petani. Keterlibatan mereka ini menumbuhkan semacam aliansi strategis gerakan, menumbuhkan semangat solidaritas, teman dialog dan diskusi, jaringan informasi, advokasi dalam berbagai fora seperti press release, dan sebagainya. Posisi sebagai fasilitator dimaksudkan agar tidak terjadinya intervensi ke dalam kegiatan dan pemikiran petani. Dalam beberapa hal, ide-ide strategis gerakan perlawanan petani banyak yang muncul dari kelompok-kelompok mahasiswa dan LSM.

6. Tumbuhnya Organisasi Tani

Tumbuhnya organisasi-organisasi tani, terutama pada dekade 1980-an merupakan sejarah panjang perjalanan kaum tani yang tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan para tokoh yang berasal dari kaum kelas tengah, seperti aktivis mahasiswa dan LSM yang melakukan pendampingan dan pengorganisasian.

Pendampingan dan pengorganisasian merupakan pilihan model yang dikembangkan para aktivis, untuk menggerakkan dan menumbuhkan organisasi tani sebagai alat perjuangan petani untuk mendapatkan hak-haknya yang selama ini dirampas oleh penguasa dan pengusaha. Dalam rangka menumbuhkan organisasi tani ini, paling tidak, terdapat dua model pendekatan yang merupakan sebuah konsep organisasi yang berdiri secara formal berstruktur, sebagaimana layaknya organisasi modern. Namun secara substansial sebagai pusdipergunakan.

Pertama, pendekatan sektoral dengan menggunakan isu-isu ekonomi sebagai pintu masuk. Pendekatan ini dilakukan dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang bersifat ekonomis, seperti kelompok simpan pinjam, usaha bersama produksi dan lain sebagainya. Pada bagian berikutnya pertemuan-pertemuan kelompok juga dipergunakan untuk melakukan proses belajar bersama tentang banyak hal yang berkaitan dengan masalah-masalah petani. Dan model ini banyak dikembangkan pada daerah-daerah yang tidak terlibat dalam kasus-kasus secara manifes.

Kedua, pendekatan kasus, dimana sebagai pintu masuk pengorganisasian adalah kasus aktual (penggusuran) yang sedang dihadapi oleh para petani. Peranan aktivis mahasiswa dan LSM dalam melakukan pengorganisasian kaum tani yang mengalami sengketa tanah (penggusuran) tidak dapat dikatakan kecil, biasanya diawali dengan proses pembelaan dan pendampingan terhadap kasus-kasus penggusuran yang dialami oleh para petani secara terus menerus. Artinya, organisasi tani tersebut tumbuh ditengah-tengah kasus yang terjadi sebagai media alat untuk perjuangan secara bersama-sama.

Organisasi tani yang tumbuh di era 1980-an belumlah at koordinasi antar petani yang dibangun atas semangat kebersamaan dan perasaan senasib untuk memperjuangkan hak-haknya yang selama ini merasa dirampas. Disamping itu organisasi yang ada masih cenderung bersifat lokal dan belum ada semacam jaringan kerja pada tingkat yang lebih tinggi.


Sifat tanah sebagai ideologis tercermin sudah sejak dahulu kala. Dalam kerangka ideologi inilah pemberontakan petani semenjak jaman kolonial hingga kini (konflik tanah versus penggusuran demi pembangunan) membentuk logika perlawanan tersendiri. Hanya bentuk-bentuk perlawanan, teknik pengorganisasian, dan cara-cara tokoh mengartikulasikan diri ke dalam gerakan itulah yang terus berubah dan berkombinasi. Ideologi itu sendiri dapat dikatakan belum bergeser pemaknaannya.

Itu berarti hampir setiap tahun ada saja onrust atau uproar (kerusuhan), sifatnya lokal dan mudah ditindas, termasuk peristiwa paling spektakuler yakni pemberontakkan petani Banten pada tahun 1888.

Pemberontakkan petani Banten pada tahun 1888 menjadi puncak perlawanan kaum tani terhadap penguasa penjajah dan kaki tangan pribuminya sepanjang abad 19 dan menjelang abad 20. Pemberontakkan petani Banten juga dilatarbelakangi oleh beban berat penderitaan kaum tani dan kebencian yang amat dalam terhadap penguasa Belanda maupun juga penguasa pribumi (Bupati dan Residen) yang dianggap sebagai antek-antek Belanda. Pemberontakkan terjadi di Banten, Lebak dan juga sampai ke daerah Batavia. Pemimpin pemberontakkan berasal dari kalangan ulama yaitu kyai/tubagus maupun para jawara. Namun demikian pemberontakkan petani Banten tersebut dapat ditumpas dengan mudah karena seperti halnya karakter gerakan perlawanan kaum tani sebelum abad 20, masih bersifat lokal, kedaerahan dan dipimpin oleh tokoh feodal lokal.

Pada awal abad 20, mulai bermunculan organisasi pergerakan modern yang sudah mulai mengusung tema-tema perjuangan nasionalisme dan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Seperti misalnya Sarekat Islam (SI) yang sekalipun tujuan awalanya untuk kepentingan perlindungan bagi usaha dagang pribumi, tapi dalam perkembangannya juga banyak bersentuhan dengan tema nasionalisme dan anti kolonialisme, dan segera saja memiliki keagngotaan luas di seluruh Indonesia. Kemudian juga lahir ISDV yang memang sedari awal memiliki garis anti kolonialisme dan banyak mempelopori lahirnya organisasi klas buruh seperti VSTP , serikat buruh kereta api. Kaum tani juga kemudian memiliki organisasinya yaitu Serikat Buruh Tani dan Perkebunan, yang pada perkembangannya berdiri sendiri-sendiri yaitu Serikat Buruh Tani dan Serikat Buruh Perkebunan. Perlawanan kaum tani juga tidak pernah surut, bahkan pada tahun 1926 meletuslah pemberontakan nasional kaum tani bersenjata. Pemberontakkan 1926 ini bertujuan untuk menghancurkan kolonialisme dan juga sisa-sisa feodalisme. Berbeda dengan perlawan kaum tani sebelum abad 20, pemberontakkan 1926 memperlihatkan karakter nasional dan telah dipimpin oleh klas buruh. Bersifat nasional, karena telah terjadi di banyak tempat baik di Jawa maupun luar Jawa seperti Sumatera dan Kalimantan. Juga tidak lagi dipimpin oleh penguasa feodal lokal tetapi oleh klas buruh, melalui partainya. Tetapi karena kelemahan-kelemahan secara internal di dalam gerakan perlawanan kaum tani dan kepemimpinan klas buruh, maka pemberontakkan mengalami kegagalan dan dapat ditumpas oleh Belanda. Salah satu kelemahan misalnya pemberontakkan tidak dilakukan dalam waktu yang serentak, sehingga memudahkan Belanda menanganinya.

Paska 1926, gerakan kaum tani mengalami pengawasan dan penekanan yang ketat dan keras dari Belanda, karena kekuatiran muncul kembali perlawanan dan pemberontakkan dari kaum tani. Demikian pula di masa imperialisme fasis Jepang, polisi rahasia Jepang yang dikenal sangat kejam dan lihai senantiasa memata-matai gerak-gerik kaum tani dan para pimpinannya. Sehingga tidak sedikit yang kemudian ditangkap, disiksa dan dipenjarakan. Namun demikian tidak menghalangi kaum tani untuk tetap bergerak, dan puncaknya ketika Revolusi Nasional 17 Agustus 1945, kaum tani yang dipimpin oleh para pemuda revolusioner turut serta secara aktif dalam merebut persenjataan dari Jepang dan memproklamasikan kemerdekaan. Di banyak tempat terbentuk laskar tani di samping laskar rakyat yang lain seperti laskar pesindo, laskar buruh, laskar minyak dan lain-lain. Demikian juga ketika terjadi agresi Belanda dan kedatangan Sekutu selama kurun waktu 1945-1948, kaum tani juga turut aktif dalam perlawanan rakyat bersenjata.

Pada bulan November 1945, diselenggarakan kongres petani yang pertama dan dalam kongres tersebut lahirlah Barisan Tani Indonesia (BTI). Kemudian disusul kelahiran Rukun Tani Indonesia (RTI) dan Sarekat Kaum Tani Indonesia (Sakti). Pada tahun 1947 berdiri Serikat Tani Islam Indonesia (STII) yang disponsori oleh Masyumi. Menyusul PETANI yang banyak dinilai dekat dan PNI dan PETANU yang dekat dengan NU. Organisasi-organisasi tani tersebut, khususnya BTI kemudian berkembang dengan pesat, bahkan pada akhir tahun1955, anggota BTI telah mencapai angka 3 juta lebih dan tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Gerakan petani paska berdirinya organisasi tani modern tersebut tidak dapat dilepaskan dari gerakan massa rakyat dalam revolusi Indonesia. Program perjuangan dari organisasi tani khususnya BTI, RTI dan Sakti yang dikemudian hari meleburkan diri menjadi BTI digariskan dengan tegas yakni anti imperialisme dan juga anti feodalisme dengan memperjuangkan terlaksananya land reform. Organisasi tani inilah yang secara aktif menuntut nasionalisasi perusahaan asing dan pelaksanaan secara konsisten UUPA 1960.

Pada tahun 1966, pemerintahan Soekarno jatuh dan naiklah orde baru yang dipimpin oleh Soeharto. Periode ini menandai awal dari sebuah masa kemunduran gerakan tani dan surutnya organisasi-organisasi tani. Pada awal naiknya orde baru, banyak anggota BTI yang dibunuh oleh pemerintahan Soeharto dengan tuduhan komunis. Hal tersebut menimbulkan trauma panjang di kalangan kaum tani untuk bangkit dan membangun gerakan tani. Hal tersebut memang merupakan strategi orde baru untuk melumpuhkan gerakan tani di Indonesia. Paska 1966, orde baru mempraktekkan kebijakan yang sangat mengekang kebebasan berorganisasi bagi kaum tani. Satu-satunya organisasi yang 'direstui' oleh orde baru adalah HKTI, dan apabila kaum tani menolak masuk HKTI atau mendirikan organisasi sendiri maka akan dicap sebagai pembangkangan terhadap pemerintah. Demikian juga aturan tentang partai politik yang tidak diperbolehkan membentuk ranting sampai tingkat desa, merupakan upaya dan strategi orde baru untuk memberangus kesadaran politik kaum tani. Dan ini terbukti berhasil, di mana selama 32 tahun, kaum tani di Indonesia dibuat buta tentang politik dan menganggap hal yang tabu untuk berbicara atau berurusan dengan politik. Protes dan ketidakpuasan petani juga banyak dihadapi dengan kekerasan oleh orde baru, sehingga menimbulkan ketakutan yang mendalam di kalangan kaum tani. Dapat dikatakan, selama Soeharto berkuasa, gerakan tani mengalami kemunduran yang luar biasa.

Namun bukan berarti bahwa selama masa orde baru berkuasa, kaum tani tidak melakukan perlawanan. Kebijakan orde baru banyak mengabdi pada kepentingan imperialisme, borjuasi komprador dan tuan tanah. Akibatnya sangat merugikan kaum tani dan menelantarkan petani dalam penderitaan akibat praktek penyerobotan, perampasan dan penggusuran tanah rakyat dengan berbagai dalih seperti untuk kepentingan pembangunan, dirampas perkebunan, perhutani dan perusahaan, untuk pembangunan perumahan mewah dan industri, diambil alih militer dan lain sebagainya. Selama kurun waktu 30 tahun mulai 1970 sampai dengan tahun 2000, tercatat telah terjadi tidak kurang dari 1753 kasus sengketa tanah yang menghadapkan kaum tani dengan negara maupun pengusaha dan militer. Perlawanan kaum tani tetap dilakukan seperti misalnya dengan melakukan pembangkangan pembayaran pajak, aksi demonstrasi, aksi mogok makan, perusakan fasilitas pemerintah, penolakan untuk dipindahkan dari tanahnya, pembakaran milik perusahaan, penuntutan kembali hak atas tanah (reklaiming), pengambilalihan atau pendudukan tanah (okupasi) sampai juga perlawanan fisik. Demikian juga pendirian organisasi-organisasi tani secara independen di luar HKTI juga merupakan bentuk perlawanan secara organisasi. Juga praktek pertanian organik, pendirian koperasi-koperasi dan lumbung-lumbung benih merupakan bentuk perlawanan petani terhadap kebijakan pemerintah yang menempatkan petani dalam situasi ketergantungan terhadap input produksi seperti pupuk, benih dan obat-obatan yang banyak diproduksi pabrik terutama perusahaan asing.

Paska Soeharto jatuh pada tahun 1998, kebebasan demokratik terbuka lebih lebar dibanding masa sebelumnya. Sehingga kemudian gerakan petani mengalami kebangkitan kembali. Aksi aksi petani menuntut dikembalikannya tanah-tanah yang dulu dirampas orde baru semakin marak terjadi di mana-mana bahkan sampai dilakukannya reklaiming dan pendudukan tanah. Demikian juga tuntutan untuk dilaksanakannya UUPA 1960 semakin bertambah besar. Organisasi-organisasi independen yang didirikan oleh kaum tani sendiri, baik di tingkat desa, kabupaten, propinsi bahkan nasional banyak bermunculan. Keberanian kaum tani dalam menyuarakan pendapat dan memperjuangkan kepentingannya semakin bertumbuh-kembang. Sekalipun demikian tetap harus menghadapi sikap yang keras dan represif dari negara, seperti kasus terakhir berupa penembakkan petani di Bulukumba, Sulawesi Selatan dan Manggarai, Nusa Tenggara Timur.

Dari rangkaian ulasan singkat tentang sejarah gerakan tani di Indonesia, dapat dengan jelas disimpulkan bahwa penindasan terhadap petani telah terjadi dari masa ke masa. Demikian juga dalam setiap masa penindasan, selalu muncul perlawanan kaum tani. Ini membuktikan kebenaran hukum obyektif perkembangan masyarakat bahwa di mana ada penindasan, di situlah akan berkobar perlawanan. Dan sejarah gerakan tani di Indonesia membuktikan satu hal yang penting bahwa KAUM TANI MEMILIKI TRADISI BERLAWAN.