Jumat, 16 Oktober 2009

Hari Pangan Sedunia dan Kemandirian Petani

Hari Pangan Sedunia, 16 Oktober 2008, bertema ”Ketahanan Pangan, Perubahan Iklim, Bioenergi dan Kemandirian Petani”. Empat matra ini secara implisit menegaskan, kian tidak mudah mencapai ketahanan pangan.

Pemanasan global membuat cuaca kian kacau dan sulit diprediksi. Periode musim hujan dan kemarau kian tak menentu sehingga pola tanam, estimasi produksi pertanian, dan persediaan pangan sulit diprediksi.

Krisis pangan

Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), setiap kenaikan suhu dua derajat Celsius akan menurunkan produksi pertanian China dan Banglades 30 persen pada tahun 2050. Masalahnya dampak tak dibagi rata. Rakyat miskin seperti petani dan nelayan di negara miskin paling menderita karena daya adaptasi rendah dan ketergantungan kehidupan mereka pada sumber daya alam yang rentan terhadap perubahan iklim.

Dalam kondisi demikian, dunia diempaskan krisis pangan. Penyebabnya bukan cuma suplai pangan menyusut, tetapi karena pergeseran permintaan konsumsi biji-bijian di China dan India kian besar dan konversi pangan ke bahan bakar di negara maju. Bagai silent tsunami, sontak jutaan orang yang semula makmur kini malnutrisi. Josette Sheeran, Direktur Eksekutif WFP, menyebutkan lebih dari 100 juta jiwa di tiap benua terancam kelaparan.

Bisakah petani mandiri? Lebih tiga dekade petani dan pertanian di negara-negara berkembang jadi anak tiri. Lewat pendiktean IMF dan Bank Dunia, investasi di sektor pertanian disunat, dialihkan ke led-export production. Lembaga donor tak tertarik membantu peningkatan produksi pangan, tetapi justru mendorong peningkatan komoditas ekspor. Dana kerja sama pembangunan dari negara maju untuk negara berkembang naik dari 20 miliar dollar AS (1980) menjadi 100 miliar dollar AS (2007), tetapi pada saat yang sama dana untuk pertanian turun dari 17 miliar dollar AS tinggal tiga miliar dollar AS (Via Campesina, 2008).

Petani Indonesia

Petani dan pertanian Indonesia tak jauh berbeda. Setelah tiga dasawarsa pangan utama (beras, jagung, kedelai, gandum, gula, dan minyak goreng) ada di bawah Bulog atas desakan IMF semua dilepas ke pasar pada 1998. Komitmen liberalisasi secara bertahap dengan WTO mengalami percepatan. Penyesuaian struktural ala IMF mengharuskan penghapusan berbagai subsidi. Bulog direstrukturisasi menjadi Perum yang harus untung.

Hampir semua produktivitas pangan menurun/stagnan, kecuali beras dan jagung. Tingkat ketergantungan impor meledak dua kali setelah tahun 1998. Produksi kedelai, daging, dan telur ayam ras, dan impor gandum tergolong kritis. Nasib serupa terjadi pada daging sapi, susu, dan gula. Ini terjadi karena Indonesia membuka pasar secara radikal. Padahal, negara-negara maju, seperti UE, AS, Kanada, Swiss, Norwegia, dan Jepang, melakukan sebaliknya. Tahun 2003, 83 persen jenis produk yang masuk Indonesia dikenai applied tariff 0-10 persen; 15 persen produk dikenai applied tariff 15-20 persen, dan hanya 1 persen dipatok applied tariff di atas 30 persen. Serbuan pangan impor murah karena dumping membuat pemerintah memilih jalan pintas: panen pangan di pasar ketimbang di lahan. Petani pun jadi kaum paria.

Memandirikan petani

Memandirikan petani memerlukan perubahan paradigma: dari ketahanan pangan menuju kedaulatan pangan. Visi pemerintah dalam pembangunan pangan (UU No 7/1996 tentang Pangan) diletakkan dalam konsep ketahanan pangan. Konsep adopsi FAO itu didefinisikan sebagai kemampuan negara memenuhi kebutuhan pangan (warganya), menyangkut empat aspek: ketersediaan, stabilitas ketersediaan, keterjangkauan, dan konsumsi.

Masalahnya, konsep ini tidak menyoal siapa yang memproduksi, dari mana diproduksi, dan bagaimana pangan tersedia. Yang penting, pangan dalam jumlah cukup, tidak peduli hasil impor atau panen sendiri.

Kedaulatan pangan merupakan prasyarat ketahanan. Ketahanan pangan baru tercipta jika kedaulatan pangan dimiliki rakyat. Karena itu, kedaulatan pangan bukan hanya perlu, tetapi menjadi niscaya. Dari perspektif ini, pangan dan pertanian seharusnya tidak ditaruh di pasar yang rentan, tetapi ditumpukan di pundak dan kemampuan sendiri. Untuk menciptakan kedaulatan pangan, pemerintah harus menjamin akses setiap petani atas tanah (reforma agraria), air, bibit lokal unggul, pasar yang adil, dan kredit bersubsidi.

Prioritas utama dan pertama adalah pasar domestik dan kepentingan petani, bukan pasar ekspor dan kuasa korporasi. Semua prakarsa petani yang menggantikan input luar yang mahal (bibit, pupuk, pestisida) dengan produk ramah ekologis harus didorong. Dengan demikian, petani bisa tegak, mengangkat kepala menjadi mandiri.

Hari Pangan Sedunia (HPS): Kemiskinan dan Ketahanan Pangan

Rabu, 17 Oktober, 2001 oleh: Siswono
Hari Pangan Sedunia (HPS): Kemiskinan dan Ketahanan Pangan
Gizi.net - Setiap tanggal 16 Oktober 2001, kita peringati Hari Pangan Sedunia. Kali ini, disponsori oleh Food and Agriculture Organization (FAO), peringatan Hari Pangan Sedunia 2001 dilaksanakan di berbagai negara dengan tema Fight Hunger to Reduce Poverty. Di dalam negeri, dikoordinasi oleh Bulog, pemerintah mengambil tema “Ketersediaan Pangan untuk Memerangi Kelaparan dan Mengurangi Kemiskinan”.

Tema ini sangat pas untuk menjadi renungan di kala multikrisis belum juga mereda, karena dua hal.

Pertama, Revolusi Hijau hanya menyengsarakan mereka. Alasannya, penggunaan pupuk dan peptisida telah merusak tanah dan lingkungan, sehingga menyulitkan produksi. Akibat pemakaian pupuk terus menerus dan takarannya selalu ditingkatkan, tanah mengalami degradasi, sehingga pemupukan tidak bisa lagi menaikkan hasil.

Kedua, kesangsian atas teknologi transgenik sebagai obat mujarab kelaparan dunia. Statistik berikut memberi bukti. Di AS, negara dengan tanaman transgenik terluas, satu dari sepuluh rumah tangga tidak selalu dapat membeli makanan yanag diperlukan. Tahun 1998, 3,7 juta rumah tangga di AS kelaparan dan 10,5 juta rumah tangga terancam kelaparan. Hampir satu dari lima dan lebih dari satu setiap orang dewasa hidup dalam rumah tangga yang tak memiliki ketahanan pangan (Bread for the World, 1999).

Persoalan pangan memang bukan cuma soal produksi. Produksi pangan yang melimpah pun tidak menjadi tidak ada kelaparan kalau distribusi pangan tidak disokong oleh perangkat kelembagaan yang kredibel. Indonesia sebagai negara kepulauan, keberadaan kelembagaan yang kredibel menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non). Bagi kelompok miskin, amburadul-nya kelembagaan distribusi pangan bakal membuat mereka semakin menderita. Maklum, porsi pengeluaran pangan untuk kelompok miskin tidak kurang dari 80 persen dari seluruh pengeluaran, dan 60 persen di antaranya untuk beras. Jadi ketergantungan kelompok miskin pada pangan amat besar.

Kenaikan BBM dan tarif listrik akan membuat harga barang-barang meroket, yang pada gilirannya akan memicu inflasi yang tinggi. Jika pendapatan riil mereka turun, maka persentase pengeluaran untuk pangan menjadi lebih tinggi lagi. Tidak cuma 60 persen, malah porsinya bisa lebih dati 90 persen. Mereka pun akan merealokasikan pengeluarannya. Dana untuk pendidikan dan kesehatan akan dikurangi, lalu mereka mengalihkannya ke pangan. Jumlah dan frekuensi makan mereka dikurangi. Jenis pangan inferior atau murah menjadi pilihan, walau tidak kaya dengan kandungan energi dan protein. Dampaknya, konsumsi energi dan protein akan menurun.

Hal itu buat orang dewasa akan mempengaruhi produktivitas dan kesehatan mereka. Bagi ibu hamil atau menyusui dan anak balita akan berdampak buruk kepada perkembangan kecerdasan anak, apalagi kalau tidak tercukupi gizi mikronya. Menurut data Susenas 1999, di Indonesia terdapat sekitar 23 juta anak balita. Dari jumlah tersebut sekitar 1,8 juta anak (8 persen) menderita gizi buruk dan 5,2 juta anak (26 persen) menderita gizi kurang. Selain itu, saat ini diperkirakan tidak kuang 3,3 juta anak balita yang berat badannya masih di bawah normal, 1,1 juta di antaranya anak berumur 6-23 bulan. Maklum, tingkat konsumsi energi dan protein masyarakat kita memang masih rendah. Data Susenas 1999 melaporkan bahwa tingkat konsumsi energi dan protein masing-masing turun 8 persen dan 6 persen dibandingkan tahun 1996. Perkembangannya dari tahun ke tahun hampir stagnan.

Gizi buruk merupakan terminologi kedokteran yang dipakai untuk menunjukkan keadaan dimana berat badan anak hanya 60 persen dari berat badan ideal (BBI). Sedangkan gizi kurang adalah jika berat badan anak hanya mencapai 60-80 persen dari BBI. Berdasarkan hasil Susenas tahun 1999 itu, anak-anak berusia 24-29 bulan merupakan kelompok yang paling banyak menderita gizi buruk dan gizi kurang. Pada kelompok umur ini angka prevalensi gizi buruk mencapai 12 persen, sedangkan gizi kurang 32 persen. Dampak gizi buruk dan gizi kurang pada kelompok umur ini tidak saja mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak serta mengurangi tingkat kecerdasan dengan akibat lost generation, tapi juga menjadi penyebab timbulnya berbagai penyakit yang mengakibatkan kematian.

Pemerintah sebetulnya cukup serius menangani soal pangan dan gizi ini. Salah satunya lewat wadah koordinasi bernama Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). Dalam sistem ini Departemen Pertanian bertugas dan bertanggung jawab melaksanakan subsistem kewaspadaan produksi dan ketersediaan pangan. Bulog mengurusi subsistem kewaspadaan distribusi, sedangkan Departemen Kesehatan bertanggung jawab dalam kewaspadaan konsumsi dan gizi. SKPG bertugas memetakan dan mengumpulkan informasi di daerah-daerah tentang ketersediaan pangan dan kemungkinan terjadinya masalah rawan pangan dan gizi buruk di suatu daerah akan segera bisa diatasi. Lembaga ini sebetulnya sangat ideal karena bentuk kelembagaannya mengakar sampai ke tingkat pedesaan (kelurahan).

Di luar itu juga masih ada JPS Bidang Kesehatan (JPSBK). Menurut evaluasi JPSBK tahun pertama yang dilakukan di lima provinsi (Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan), program ini berhasil meningkatkan akses keluarga miskin terhadap layanan kesehatan dasar, kebidanan, dan pemberian makanan tambahan (Kompas, 26/10/2000). Derajat kesehatan keluarga miskin cenderung meningkat dan status gizi buruk menurun. Ketepatan sasarannya mencapai 90 persen. Cuma, karena dananya terbatas, JPSBK hanya menjangkau kalangan terbatas. Bahkan, dengan gagahnya pemerintah meminta Bank Dunia menghentikan program JPS di tahun 2001 karena dinilai banyak menyimpang dan tidak sesuai dengan desain semula.

Padahal, jumlah penduduk miskin masih sangat besar. Menurut catatan, akibat krisis ekonomi, pada tahun 1998-1999 jumlah penduduk miskin di Indonesia meningkat dua kali lipat menjadi hampir 45 juta jiwa. Padahal, tahun 1996 cuma berjumlah 22,5 juta orang. Jumlah ini diperkirakan masih bertahan. Memang, kelompok miskin ini masih tertolong oleh program Dana Kompensasi Sosial (DKS) akibat kenaikan BBM sebesar Rp 2,3 trilyun.

OPK, misalnya, memberikan beras (bersubsidi) Rp 1.000/kg sebanyak 20 kg/KK per bulan, dengan sasaran keluarga sejahtera I dan keluarga rawan pangan, yang bermukim di perkotaan maupun di perdesaan di sejumlah provinsi. Cuma, program ini selain hanya menjangkau sasaran terbatas, pelaksanaannya pun menyimpang (LP3ES, 2000). Selain jumlah beras yang dibagikan kurang dari yang seharusnya diterima kelompok sasaran (26 persen), sebanyak 33 persen keluarga membeli beras di atas harga yang harus dibayar (Rp 1.000/kg) dan sebesar 37 persen kasus pelaksanaan OPK tidak tepat sasaran.

Sementara program DKS dialokasikan ke tujuh macam program yang dananya terdistribusi sebagai berikut : pendidikan (38 persen), kesehatan (24 persen), pangan/beras (13 persen), angkutan bus kota (10 persen), air bersih (8 persen), pemberdayaan masyarakat pesisir (5 persen), dan permodalan kredit mikro (3 persen). Dimulai Juli dan berakhir Desember 2001 (enam bulan). Masalahnya, Program DKS mengulangi kembali kesalahan subsidi umum yang bukan saja sasarannya tidak tepat, pemilihan programnya pun banyak diwarnai ego sektoral.

Jika ditelaah secara kritis, hanya tiga program DKS-yakni pendidikan, kesehatan dan pangan- yang cocok dalam kaitannya dengan penurunan pendapatan riil kelompok miskin. Dengan subsidi beras (pangan), akan memungkinkan kelompok miskin untuk mempertahankan tingkat konsumsi energi dan protein. Dan, disaat yang sama , mereka juga tidak banyak mengurangi biaya pendidikan dan kesehatan. Tetapi, apa justifikasi kita terhadap program kredit, pemberdayaan nelayan pantai, angkutan kota, dan air bersih? Apa kaitan empat program itu dengan kelompok miskin? Program-program ini tak terkait dengan penurunan pendapatan riil kelompok miskin.

Sejumlah program di atas, khususnya OPK, sebetulnya wujud tanggung jawab negara terhadap kewajiban menyediakan pangan yang murah (dalam arti harganya terjangkau oleh kelompok miskin sekalipun), tersedia setiap saat (panen atau paceklik) dalam jumlah cukup dan bisa diakses siapa saja. Ketiga hal itu merupakan esensi konsepsi sistem ketahanan pangan,. Sayangnya, sejak merdeka, Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi, sistem ketahanan pangan ditafsirkan secara sempit.

Sepanjang Orde Lama, sektor pangan tidak terurus karena tergerus persoalan politik. Di masa Orde Baru, ketahanan pangan dimaknai secara sempit sebagai makan beras sehingga diversikasi pangan mandek. Beras jadi pangan idola. Kecenderungan itu berlanjut pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, bahkan Presiden Megawati. Ketahanan Pangan diartikan dengan menjual beras murah (bersubsidi) Rp. 1.000/kg sebanyak 20 kg/KK per bulan, dengan sasaran keluarga prasejahtera, keluarga sejahtera I dan keluarga rawan pangan, yang bermukim di perkotaan maupun di pedesaan di sejumlah provinsi.

Padahal, upaya yang bersifat tentatif dan “ad hoc” itu tidak akan menyelesaikan masalah. Seringkali Indonesia mengalami musim kering panjang atau banjir, sesering itu pula negeri ini dilanda kekurangan pangan,. Gejala El Nino (kering) pada 1997 dan La Nina (hujan) pada 1998 misalnya, disertai dengan peristiwa kelaparan di berbagai daerah. Selain banyak penduduk yang cuma makan sekali sehari, makanan yang mereka santap jauh dari kriteria bergizi. Seiring prediksi datangnya El Nino pada tahun 2002 dan bergulingnya Otonomi Daerah, sudah sangat mendesak untuk didesain sistem ketahanan pangan yang bisa diandalkan untuk mencegah bencana kelaparan atau kematian.

Sistem ketahanan pangan sebetulnya sudah dikenal sejak zaman mesir kuno. Dalam sebuah kisah diceritakan bahwa kerajaan mesir kuno membangun sistem pangan karena tahu akan datangnya kekeringan ( Saragih, 1998). Penyediaan pangan menjadi agenda pokok pemerintahan dengan menunjuk pelaksana, memungut dan menguasai 1/5 tanah mesir serta menyimpan bahan makanan di berbagai kota. Sayangnya, pengertian sistem keamanan dan ketahanan pangan belum banyak disosialisasikan di Indonesia.

Diakitkan dengan ancaman kelaparan, sistem ini melibatkan gugus proses yang menghasilkan komoditas pertanian di tingkat usaha tani, mengubah komoditas tersebut menjadi makanan di sektor hilir, menjualnya kepada konsumen untuk memenuhi kebutuhan gizi serta kebutuhan estetika dan sosial (Tim Med, et al 1983).

Sistem ini mensyaratkan keterlibatan secara konsisten antara kebijakan makro dan mikro dengan kebijakan pertanian, pangan dan gizi. Kebijakan makro memberi payung berupa iklim yang kondusif bagi pembangunan pertanian, agroindustri pangan serta distribusinya. Kebijakan mikro ( yang konsisten dengan pangan kebijakan makro) pangan menyangkut upaya memadukan berbagai kegiatan negara yang mengarahkan pasokan, distribusi dan konsumsi pangan agar terjamin keberlanjutan akses masyarakat terhadap pangan secara berkecukupan di seluruh pelosok negeri (Ellis, 1992).

Dalam sistem ketahanan pangan, bukan hanya soal pasokan yang perlu diperhatikan tetapi yang lebih penting adalah melihat kemampuan seseorang atau rumah tangga mengendalikan pasokan pangan untuk dirinya atau untuk keluarganya (food entitlement).
Di suatu negeri, meskipun secara matematis pasokan pangan (seharusnya) cukup bagi setiap orang dan sistem distribusi sudah lancar, tetapi tetap saja bisa terjadi sekelompok orang mengalami kurang gizi, bahkan kelaparan, karena kekurangan kemampuan memasok bagi dirinya atau keluarganya. Oleh karenanya, kemampuan-kemampuan kelompok rawan itu perlu dicermati secara seksama.

Sumber : Kompas, Selasa, 16 Okotober 2001